Pupuk Organik dari Kotoran Sapi


Ngatijan membuat pupuk organik dari kotoran sapi. Ia membantu para pemilik sapi yang tinggal di sekitar kampungnya.
-----
Selama bertahun-tahun, saya merasa tidak nyaman dengan tumpukan kotoran sapi yang tak terpakai di kampung saya di Dusun Margaraya, Desa Lurung, Kecamatan Natar, Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Onggokan kotoran sapi itu makin lama semakin menumpuk karena hampir setiap warga di kampung saya memiliki sapi untuk membajak sawah.
Nama saya Ngatijan. Meski hanya lulusan sekolah dasar, saya mulai mencoba memanfaatkan kotoran sapi itu untuk membuat pupuk organik pada 2004. Awalnya, usaha saya jatuh bangun. Maklum, tidak mudah memasarkan pupuk organik di tengah masih populernya pupuk kimia. Waktu itu, saya hanya bisa memproduksi puluhan ton per bulan. Karyawan saya juga hanya lima orang. Tapi kini saya bisa memproduksi pupuk organik hingga 500 ton per bulan. Saya pun bisa mempekerjakan hingga 20 orang. Dengan harga pupuk organik sebesar Rp 500 per kilogram, omzet bisnis ini bisa mencapai Rp 250 juta per bulan.
Selain berkah untuk diri sendiri, usaha ini juga menguntungkan 500-an petani yang tinggal di sekitar tempat tinggal saya. Saya tidak mengambil kotoran sapi itu secara cuma-cuma dari mereka. Kotoran sapi yang telah dikeringkan selama seminggu dihargai sekitar Rp 40 per kilogram. Jadi, dengan dua sapi, satu keluarga petani biasanya bisa mendapat upah sekitar Rp 50 ribu per bulan. Meski tidak besar, tambahan penghasilan ini bisa sedikit membantu modal usaha tani dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Proses produksi pupuk organik dimulai dengan mengumpulkan bahan baku berupa kotoran sapi dari para penduduk. Kotoran itu dicampur bahan lain dengan komposisi: kotoran sapi sebesar 80-83 persen, serbuk gergaji 5 persen, bahan pemacu mikroorganisme 0,25 persen, abu sekam 10 persen, dan kapur 2 persen.
Campuran ini kemudian dibiarkan selama satu minggu sembari dibolak-balik untuk menjaga kadar oksigen. Setelah satu minggu, pupuk organik biasanya telah matang dengan warna pupuk cokelat kehitaman bertekstur remah dan tidak berbau.
Langkah berikutnya, pupuk diayak atau disaring untuk mendapatkan bentuk yang seragam dan memisahkannya dari bahan yang tidak diharapkan. Contohnya batu, potongan kayu, atau tali raffia. Ini agar pupuk yang dihasilkan benar-benar berkualitas.
Usaha pupuk organik ini melambung ketika pemerintah mengeluarkan program Bantuan Pupuk Pemerintah (BPP) untuk petani miskin pada 2009. Pabrik dan distributor pupuk besar yang diminta menyalurkan BPP, seperti PT Pertani dan PT Sang Hyang Seri, pun bekerja sama dengan produsen pupuk-pupuk organik skala menengah dan kecil. Saya menangkap peluang itu dengan ikut serta menjadi pemasok pupuk organik dari kotoran sapi.
Melalui program pemerintah ini, pupuk-pupuk organik yang telah dibeli dari para pemasok tersebut dimasukkan ke dalam kantong kemasan 50 kilogram dan diberi label oleh distributor sebagai pupuk bantuan dari pemerintah. Pupuk organik ini kemudian diambil oleh distributor untuk disalurkan secara gratis kepada para petani sebagai pengganti pupuk kimia di kawasan Lampung dan sekitarnya.
Ke depan, saya berharap bisa memproduksi 1.000 hingga 2.000 ton setiap bulan agar mampu memenuhi permintaan. Jika produksi meningkat, usaha ini tentu saja juga bisa lebih banyak membantu para pemilik sapi di sekitar kampung saya, sehingga lebih banyak lagi petani yang terangkat kesejahteraannya.
Sumber: Kompas, 13 Desember 2010

Pemesanan pupuk organik
https://pupukorganiklampung.blogspot.co.id/p/harga.html


butuh ekspedisi kunjungi :
http://lampung-ekspedisi.blogspot.co.id